"Princess Pantura", Program Indonesia Kita Tahun 2018

Posted : 21 Apr 2018

Program Indonesia Kita tahun 2018 yang mengangkat tema Budaya Pop: Dari Lampau ke Zaman Now, kembali hadir dengan lakon Princess Pantura. Produksi ke-28 Indonesia Kita yang didukung oleh Bakti Budaya Djarum Foundation ini diselenggarakan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 20-21 April 2018.

Dalam pementasan Princess Pantura ini, Indonesia Kita mengolah lagu-lagu dangdut pantura sebagai dasar cerita. Musik dangdut sendiri bermula dari lagu-lagu Melayu yang mengalami adaptasi dari film dan musik India, dan semakin populer. Sebagai sub genre dangdut, musik dangdut pantura merupakan cermin budaya dan gambaran sosial masyarakat pesisir, yang terbuka dan energik, sekaligus sebagai ekspresi kreatif untuk menyatakan identitas.

“Salah satu budaya yang tumbuh dan berkembang sangat kuat di tengah masyarakat Indonesia adalah musik dangdut. Kehadiran musik dangdut yang kurang dipandang oleh sebagian masyarakat, tak membuat musik genre ini mati, namun sebaliknya, semakin lama justru semakin berkembang dan semakin bervariasi. Indonesia Kita mengangkat musik dangdut sebagai kekayaan khas musik Indonesia ini dengan tren kekinian sehingga tetap punya daya pesona yang memikat,” ujar Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.

Bagi penulis cerita dan sutradara Agus Noor, pentas yang mengangkat musik dangdut sudah cukup lama menjadi obsesinya, “Mengolah lagu-lagu dangdut Pantura ke dalam kisah bergaya komedi adalah kerja yang asyik dan menarik, terutama karena saya juga anak Pantura, yang tumbuh dengan karakteristik lagu dangdut sejak saya masik kanak-kanak di kampung,” ujarnya.

Princess Pantura berkisah tentang persaingan Sruti dan Silir, dua biduan kampung yang ingin terkenal sebagai penyanyi dangdut. Keduanya terpesona dengan kesuksesan, terobsesi menjadi artis yang terlihat gemerlap di bawah sorot lampu panggung dan kamera televisi. Keduanya melakukan berbagai cara untuk mewujudkan mimpi, ikut lomba menyanyi dan bersaing dengan para kontestan lain. Sruti dan Silir memasuki dunia persaingan, berebut kesempatan untuk menjadi terkenal.

Tawaran menjadi artis terkenal memang menggoda, penuh bujuk rayu. Apalagi ketika mereka ditawari untuk menjadi artis dalam kampanye pilkada. Penyanyi dangdut pantura di panggung politik adalah daya pikat untuk mendatangkan massa. Tentu saja, massa yang berkumpul lebih menyukai hiburan para penyanyi dangdut itu ketimbang pidato-pidato juru kampanye atau para politisi yang membosankan. Apa jadinya panggung kampanye politik tanpa kehadiran para penyanyi dangdut itu?

“Sebagaimana tercermin dalam banyak lagu dangdut pantura, penderitaan dan kesedihan disampaikan dengan keriangan musik dan goyangan. Politik boleh semakin menjengkelkan, hidup boleh semakin sulit, tapi kita mesti tetap bergoyang. Hidup barangkali memang menjadi semakin asyik bila dirayakan dengan cara asyik bergoyang,” ujar Butet Kartaredjasa.

Pementasan ini menghadirkan JKT48, Cak Lontong, Akbar, Marwoto, Tarzan, Silir Pujiwati, Sruti Respati, Daniel Christianto dan Orkes Melayu Banter Banget. Ada Inayah Wahid juga ingin menjadi penyanyi dangdut. Ada Kelompok Trio GAM yang menyamar menjadi biduan, agar bisa ikut dalam rombongan orkes dangdut karena penyanyi laki-laki kurang disukai penonton. Ada pula penyanyi dangdut lainnya, seperti Mucle dan Arie Kriting, juga ingin menjadi superstar dangdut dengan bergaya seperti Raja Dangdut. Musik yang mewarnai pementasan ini ditata oleh Djaduk Ferianto dilengkapi dengan tampilan artistik panggung oleh Ong Hari Wahyu.

Princess Pantura merupakan pementasan kedua dengan tema Budaya Pop: Dari Lampau ke Zaman Now yang diangkat Indonesia Kita di tahun 2018. Tema ini dirumuskan tim kreatif Indonesia Kita yang terdiri oleh Butet Kartaredjasa, Agus Noor dan Djaduk Ferianto. Para seniman kreatif ini berpendapat bahwa kebudayaan, dengan seluruh hasil karya ciptanya, sesungguhnya sebuah proses penciptaan yang terus-menerus berlangsung, mengikuti pola pikir masyarakatnya.

Proses seperti itu, dengan sendirinya sejalan dengan identitas bahasa, di mana  setiap generasi dapat mengekspresikan keinginannya, dengan bahasa dan gaya masing-masing. Budaya pop adalah suara zaman yang menandai kegelisahan dan pencarian. Budaya pop tak hanya soal mengemas ide menjadi lebih populer, tetapi juga sebuah cara sebuah generasi mengidentifikasi diri dan persoalan zamannya.

Semoga kegiatan ini mampu memberikan inspirasi kepada masyarakat terutama generasi muda untuk terus berkarya serta meningkatkan rasa cinta dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Mencintai budaya adalah wujud rasa bangga dan cinta kita terhadap Indonesia, karena yang menyatukan bangsa adalah budaya. Cinta Budaya, Cinta Indonesia.


Share to Facebook Share to Twitter Share to Google

Artikel Lainnya

Video Lainnya