"Kolase dan 7 jendela kaca" Kembalinya 7 Srikandi Teater

Posted : 15 Jan 2013

Teater We-eN lahir di Yogyakarta 24 Oktober 2012. We-eN kepanjangan dari Wanito Ngunandiko yang artinya Wanita Berbicara. Dinamakan Wanito Ngunandiko atau We-eN karena rencana pementasan perdananya adalah monolog bersama 7 wanita yang mencintai dunia teater dan rindu untuk merealisasikan cintanya itu. Sehingga judul pementasan perdananya tersebut 'Kolase dan 7 Jendela Kaca'. Pertunjukan yang didukung oleh Bakti Budaya Djarum Foundation ini telah sukses digelar pada tanggal 11-12 Januari 2013 di Taman Budaya Yogyakarta.

Nama Wanito Ngunandiko itu sendiri muncul dari seorang sutradara besar yang telah malang melintang di dunia perteateran Indonesia, Yogya khususnya Jujuk Prabowo. Ide pentas perdana monolog yang khusus dimainkan oleh para wanita itu muncul dari Oky Lubis salah satu pemainnya dan Gati Andoko sang sutradara. 'Kolase dan 7 Jendela Kaca' tersebut direalisasikan oleh teater We-eN, dengan Yeni Eshape sebagai produser pemulanya sekaligus salah satu dari pemain monolognya.

Naskah yang ditampilkan kali ini hampir semuanya adalah karya tulisan dari seorang sastrawati, blogger, yang juga dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bernama Labibah Zain. Satu naskah lainnya ditulis dan diperankan sendiri oleh Dyah Puspitasari. Teater We-eN ini, muncul ke Dunia Teater Yogya dengan harapan menjadi 'Gong' kebangkitan kembali bagi para personil di dalamnya, sekaligus sebagai motivasi dalam berteater untuk anak cucu mereka. Selain itu ikut memberi warna di dunia perteateran di negeri tercinta ini.

Pementasan Teater Monolog ini merupakan bentuk perwujudan dari sebuah “Cinta dan Kerinduan” para pemainnya terhadap seni teater. Sekaligus uji nyali bagi para pemain yang semuanya berusia di atas 40 tahun, dan lebih dari 20 tahun tidak pernah melakoni proses latihan dan pementasan. Dalam kenyataannya, mereka ingin menyuguhkan pertunjukan yang dikemas apik, dengan bumbu kebersamaan akan kerinduan dan kecintaan mereka terhadap dunia teater di Yogya Istimewa ini. Proses menuju pementasan ini merupakan pengalaman dan pelajaran yang sangat berharga bagi semua yang terlibat, terutama para pemainnya. Apalagi dalam Kolase dan 7 Jendela Kaca ini adalah pentas perdana bagi mereka untuk tampil secara monolog, yang semua orang tahu tidak mudah dilakukan oleh setiap aktor dan aktris. Untuk dapat melakukannya pasti perlu latihan-latihan yang ketat dan serius.Semua ini demi menghasilkan karya yang luar biasa, menghibur, dan spektakular.

Kolase dan 7 Jendela Kaca bertema 7 macam cerita sederhana yang sering terlupakan dalam realita kehidupan manusia, khususnya kaum Hawa. Padahal cerita-cerita tersebut begitu dekat ada di sekitar kita, mungkin teman, tetangga, saudara bahkan kita sendirilah yang pernah mengalaminya. Karenanya kesan 7 warna dalam pelangi kehidupan wanita, menjadi corak yang pas dalam masing- masing karakter yang diperankan oleh mereka. Warna yang dimaksud adalah:

Merah, sesuai dengan karakter dalam tokoh cerita yang berjudul “Celana Dalam” yang akan dimainkan heboh oleh Sita Ratu. Naskah ini menceritakan tentang seorang perempuan yang tega merebut cinta laki-laki yang sudah beristri. Sedangkan mengapa mesti ada celana dalam tersebut, merupakan simbol bumbu dapur di kehidupan pasangan keluarga.

Jingga, dianggap warna yang paling pas untuk karakter monolog “Bukan Jagal Bukan Jablai” yang ditulis sendiri oleh pemainnya Dyah Puspitasari. Jagal maksudnya janda galak dan jablai biasa orang bilang jarang dibelai. Dalam cerita ini, Ita panggilan akrabnya, sengaja ingin mengangkat sisi kehidupan janda. Baik itu sebagai pilihan atau pun sebuah takdir karena telah ditinggal mati sang suami.

Kuning, sebagai warna yang cocok bagi Oki Lubis dalam monolog “Fragmen Musim Gugur”. Menceritakan sosok perempuan yang smart, cerdas, tapi idealis dalam hal romantika cintanya pada seorang laki-laki. Hingga banyak berkorban meski akhirnya harus kecewa menghadapi kenyataan hidupnya tak sama dengan yang ada dalam angan dan mimpi-mimpinya selama ini.

Hijau, memang sesuai dengan karakter Rina Chaeri yang bercerita tentang “Perempuan dan Sepotong Wajah” mengenai perempuan yang sudah bersuami tapi masih selalu ingat akan masa lalunya bersama laki-laki lain. Keadaan tersebut yang menyebabkan konflik batin dalam dirinya dan merugikan pada kalangsungan hidup ke depannya.

Biru, adalah karakter yang indah dimainkan Nuri Isnaini dalam cerita “Perempuan yang Mencari-cari Dada Ibu”. Dalam cerita tersebut menjelaskan secara gamblang salah satu alasan mengapa seorang wanita harus “mencintai” wanita lainnya. Begitu pun ternyata, ada laki-laki yang juga “mencintai” sesama laki-laki.

Nila, warna cantik ini ternyata tidak menggambarkan keindahan hidup seorang wanita penghasil devisa tinggi negeri ini. Cerita yang cukup tragis bagi seorang TKW ini akan coba dimainkan dalam monolog yang berjudul “Ketika Awan Menangkap Rembulan” oleh Yeni Eshape. Tokoh dalam cerita ini, hanya ingin menyentil mereka yang seharusnya peduli pada nasib para wanita yang rela bekerja di negeri orang demi bakti pada orang tua atau pun mengangkat martabat keluarganya. Meskipun dia sendiri sudah menjadi mayat.

Ungu, warna janda kata banyak orang yang menyebutnya. Tapi dalam lakon monolog Labibah Zain kali ini, “Perempuan Kedua” menggambarkan karakter tokoh yang ingin menduakan pasangannya karena tidak pernah puas dengan pasangan yang telah dimiliki sebelumnya. Sehingga karena kebodohannya itu, dia harus menelan ludah sebagai hasil kenakalannya itu.


Share to Facebook Share to Twitter Share to Google

Artikel Lainnya

Video Lainnya