Karya Teater Koma Ke-131 'IBU': Perjuangan Seorang Ibu Di Tengah Perang

Posted : 21 Nov 2013

Djarum Apresiasi Budaya bekerjasama dengan Teater Koma telah sukses mempersembahkan sebuah pertunjukan yang juga merupakan produksi ke-131 dengan lakon ‘IBU’. Pentas digelar di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, mulai tanggal 1 hingga 17 November 2013.

Pertunjukan ‘IBU’ ini disadur dari karya dramawan Jerman, Bertolt Brecht, berjudul Mutter Courage und ihre Kinder atau Mother Courage and Her Children. Lakon yang berkisah tentang perang abad ke-17 yang juga sering disebut sebagai salah satu lakon sandiwara terbaik abad ke-20.

Untuk pertunjukan kali ini, Nano Riantiarno didampingi oleh Ohan Adiputra sebagai co-sutradara dan Ratna Riantiarno sebagai pimpinan produksi. Ibu Brani yang merupakan sentral cerita diperankan oleh Sari Madjid yang sudah akrab dengan penonton Teater Koma. Dia memainkan peran Engtay sebanyak 80 kali di lakon Sampek Engtay sejak 1988 hingga 2004. Didukung pula aktor aktris kawakan Teater Koma lainnya seperti Rita Matu Mona, Dorias Pribadi, Alex Fatahillah, Daisy Lantang, Supartono JW dan Budi Ros. Tak ketinggalan Angkatan 2013 Teater Koma.

Mereka berhasil menunjukkan keserasian antara tarian menghentak garapan penata gerak Ratna Ully serta komposisi megah penata musik Fero Aldiansya Stefanus. Berbalut kostum tentara rancangan penata busana Samuel Wattimena serta karakter wajah yang dibentuk oleh penata rias Sena Sukarya, mereka beraksi di bawah sorotan lampu rancangan penata cahaya Deray Setyadi, di atas panggung yang didasarkan skenografi Onny K, serta didukung pengarah teknik Tinton Prianggoro dan pimpinan panggung Untari Wardhana.

Kemarahan ibu Brani kepada seorang tentara

Lakon Ibu bercerita tentang perang yang berkecamuk di seluruh benua. Negara yang mengusung bendera Matahari Hitam melawan negara lain yang mendukung Matahari Putih. Segalanya serba tidak pasti. Semua orang, tanpa terkecuali, jadi korban.

Ibu Brani menolak jadi korban. Dia justru mencium peluang bisnis. Bersama dua putra dan seorang putri bungsu yang bisu, mereka melintasi medan perang, menarik gerobak penuh barang dagangan. Tidak peduli resimen Matahari Hitam atau Matahari Putih, semua boleh membeli barang dagangan Ibu Brani. Syaratnya? Bayar dengan uang. Ibu Brani bertekad meraup untung dari perang.

Sepanjang pertunjukan penonton disuguhi kekuatan karakter Ibu Brani yang tak gentar menghadapi tentara namun tak luput dari sosok manusia yang kadang lemah dan tak berdaya. Ibu Brani sukses mengusung sosok pebisnis yang melihat peluang di tengan masa sulit. Ibu Brani tampil dingin dengan menyumpahi perdamaian yang menurutnya hanya akan membawa kebangkrutan bagi usahanya. Tetapi Ibu Brani tetaplah seorang ibu yang menangis ketika anak-anak yang dicintainya tewas satu persatu. Ibu Brani terus berjuang di tengah peperangan meskipun ketiga anaknya tewas mengenaskan dibantai para tentara.

Semoga pergelaran ini mampu memberikan inspirasi kepada masyarakat terutama generasi muda untuk terus berkarya serta meningkatkan rasa cinta dan kebanggaan sebagai Bangsa Indonesia. Mencintai budaya adalah wujud rasa bangga dan cinta kita terhadap Indonesia, karena yang menyatukan bangsa adalah budaya. Cinta Budaya, Cinta Indonesia.


Share to Facebook Share to Twitter Share to Google

Artikel Lainnya

Video Lainnya