"Matinya Sang Maestro" Pementasan kisah hidup para Maestro Kesenian

Posted : 15 Apr 2014

Setelah sukses dengan beragam pementasan yang menyampaikan gagasan perihal keberagaman dan kebersamaan, di tahun 2014 ini, program “Indonesia Kita” yang didukung oleh Djarum Apresiasi Budaya kembali sukses digelar, kali ini dengan lakon “Matinya Sang Maestro” pada 12 – 13 April 2014 di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

“Butet Kartaredjasa, Agus Noor, dan Djaduk Ferianto adalah trio budayawan yang mampu memberikan perspektif lain dalam mengangkat isu sosial ke panggung pertunjukan yang menarik dan dikemas secara artistik. Lakon ‘Matinya Sang Maestro’ akan menjadi pementasan luar biasa dimana para mestro kesenian bertemu di satu panggung dan berkisah tentang bagaimana para seniman ini mengabdikan hidup, pikiran dan kreatifitasnya pada seni dan budaya yang menjadi kebanggaan kita. ,” ujar Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.

‘Matinya Sang Maestro’ ini berkisah tentang kehidupan seorang maestro seni yang nasibnya miskin dan terlupakan hingga datang Surat Keputusan (SK) yang menyatakan pemerintah akan memberinya hadiah uang 10 miliar karena ‘jasa-jasanya selama hidup’. Kalimat itu menimbulkan masalah tafsir karena para pejabat menganggap uang hadiah itu hanya bisa diberikan setelah sang maestro mati, padahal ia masih hidup. Inilah yang kemudian menimbulkan kelucuan-kelucuan sekaligus kegetiran.

Berita soal hadiah 10 miliar itu juga menimbulkan kehebohan. Banyak yang kemudian menjadi begitu baik pada sang maestro, tapi diam-diam sesungguhnya berharap agar nanti mendapatkan bagian warisan. Semua ingin uang 10 miliar itu cepat cair, misalnya dengan cara agar sang maestro itu pura-pura sakit agar uangnya juga bisa cair separuhnya. Begitulah, sang maestro kini dibutuhkan, diperhatikan, sekaligus diingikan kematiannya.

Pementasan yang berdurasi 2 jam ini diramaikan dengan para maestro di bidang kesenian, seperti Kartolo, Didik Nini Thowok dan Marwoto. Selain itu, Djaduk Ferianto, Sruti Respati, Sapari, Yu Ning dan Trio GAM (Gareng Rakasiwi, Joned, Wisben) juga akan meramaikan pentas yang disutradari oleh Agus Noor dan artistik yang ditangani oleh Ong Harry Wahyu.

Butet Kartaredjasa membuka pertunjukan Matinya Sang Maestro

“Pementasan ini boleh dibilang sebagai panggung para maestro. Kami sengaja mengumpulkan para maestro di bidang kesenian itu dalam satu panggung, tidak sekedar memberi mereka ruang untuk melakukan kolaborasi, tetapi juga sekaligus ingin belajar dari mereka. Tak bisa dibantah, seniman-seniman seperti Kartolo, Didik Nini Thowok, Marwoto, adalah para maestro komedi yang memiliki komitmen dan pengabdian pada dunia seni dan budaya yang menjadi kebanggaan kita. Tapi justru nasib mereka seperti sering terlupakan, atau terpinggirkan,” tutur Butet Kartaredjasa, tim kreatif Indonesia Kita.

Para mestro ini dikenal bukan saja sekedar pencapaian kemampuan atau teknik berkesenian yang mereka hasilkan, namun juga nilai-nilai yang saat ini makin hilang dari masyarakat kita seperti komitmen dan pengabdian. Inilah yang menjadi alasan Indonesia Kita untuk mengangkat kisah dengan latar belakang kehidupan para maestro dari beragam disiplin seni.

“Ini sekaligus juga menandai pencapaian kreativitas mereka. Ingat, Kartolo sudah lebih dari 70 tahun berkarya, Didik Nini Thowok sudah hampir 60 tahun berkarya, dan Djaduk Ferianto pada tahun ini mencapai usia 50 tahun. Seluruh pengalaman kreatif mereka, coba saya terjemahkan dan sinergikan dalam pementasan ini. Saya merasakan ini pementasan dengan energi kreatif yang luar biasa. Ditambah dukungan Ong Harry Wahyu sebagai penata artistik, setiap adegan dalam lakon ini memperlihatkan adegan-adegan dan pementasan yang menarik dan artistik,” ujar Agus Noor yang menjadi penulis cerita dan sutradara ‘Matinya Sang Maestro’.

Didik Nini Thowok yang mendapatkan peran sebagai penari ledhek ini menyambut positif pementasan yang mengangkat kisah dengan latar belakang kehidupan para maestro ini. “Lakon ini sangat relevan dengan situasi kita hari ini. Bangsa kita sibuk mencari tokoh, tetapi lupa pada nilai-nilai ketokohan dan kepemimpinan. Apa yang telah ditunjukkan oleh Cak Kartolo, bagi saya adalah tauladan kepemimpinan juga,” ujar Didik Nini Thowok.

Dengan pertunjukan ini diharapkan kita bisa lebih mengapresiasi karya para maestro yang telah berjasa dalam perkembangan budaya di Indonesia. Mencintai budaya adalah wujud rasa bangga dan cinta kita terhadap Indonesia, karena yang menyatukan bangsa adalah budaya. Cinta Budaya, Cinta Indonesia.


Share to Facebook Share to Twitter Share to Google

Artikel Lainnya

Video Lainnya