"Opera Ular Putih", Karya Teater Koma Ke-139

Posted : 21 Apr 2015

Teater Koma yang didukung oleh Djarum Apresiasi Budaya telah sukses mempersembahkan lakon terbarunya diatas panggung dengan judul Opera Ular Putih yang juga merupakan produksi ke-139. Pentas ini digelar di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, mulai dari tanggal 3-19 April 2015.

“Selama 38 tahun berkiprah, Teater Koma telah banyak melahirkan para seniman berbakat dan produktif mengembangkan seni pertunjukan Indonesia. Konsistensi yang dihadirkan oleh Teater Koma telah terbukti menginspirasi para seniman muda Indonesia untuk senantiasa berkarya dan berkreasi, menghasilkan ide-ide berkualitas yang membanggakan. Dedikasi para seniman berbakat ini patut kita terus dukung dan apresiasi sebagai bentuk upaya melestarikan seni pertunjukan Indonesia,” ujar Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.

Selain mendukung pertunjukan, Djarum Apresiasi Budaya juga berpartisipasi dalam program apresiasi seni pertunjukan Teater Koma, yaitu sebuah program yang bertujuan untuk mengajak guru, mahasiswa, dan perwakilan pekerja seni teater di Jakarta untuk menonton pertunjukan Teater Koma.

Lakon Opera Ular Putih ini diangkat dari legenda tua asli Tiongkok dan sebelumnya pernah ditampilkan di tempat yang sama yaitu pada tahun 1994. Pementasan ini berkisah tentang siluman Ular Putih yang ingin menjadi seorang manusia sehingga ia bertapa selama 1000 tahun. Karena usaha dan kebaikan yang ada dalam dirinya, para dewa mengabulkan permintaannya dan ia pun menjelma menjadi seorang wanita cantik jelita bernama Pehtinio. Bersama dengan adiknya yaitu siluman Ular Hijau yang juga menjelma menjadi seorang manusia bernama Siocing, mereka pun menjalani kehidupan sebagai manusia biasa.

Cerita berlanjut ketika Tinio bertemu pemuda bernama Kohanbun yang merupakan reinkarnasi dari orang yang dulu pernah menolong Ular Putih ratusan tahun yang lalu, Tinio pun bertekad untuk menjadi istri dari Kohanbun. Namun, kedamaian mereka terusik ketika Kohanbun bertemu dengan Gowi, seorang peramal yang memberitahu bahwa istrinya adalah seekor siluman ular jahat, tidak peduli segala kebaikan yang dilakukan Tinio. Sehingga muncul berbagai pertanyaan, Apakah yang dikutuk sebagai kejahatan memang benar kejahatan? Apakah hal yang diagungkan sebagai kebaikan hanya merupakan kedok suatu kebusukan? Dalam kisah ini dituturkan juga tentang pengorbanan, kebijaksanaan dan cinta.

“Lakon Opera Ular Putih diangkat dari kisah klasik Tiongkok yang berjudul Oh Peh Coa yang kemudian naskahnya dibuat pada tahun 1994. Secara garis besar pementasannya tidak jauh berbeda, namun terdapat hal kekinian yang dipanggungkan. Pertanyaan yang diajukan tetap relevan: Masih sanggupkah kita membedakan siapa manusia dan siapa siluman? Semoga penonton dapat mengambil makna yang kaya akan pesan moral tersirat yang berusaha kami sampaikan dalam lakon ini,” tutur Nano Riantiarno, sang penyadur naskah dan sutradara pementasan ini.

Pementasan Opera Ular Putih ini dibintangi oleh Tuti Hartati, dimana dalam pementasan Teater Koma sebelumnya yaitu Republik Cangik, ia harus berperan jenaka sebagai Limbuk dan kini ia harus berubah 180 derajat menjadi Tinio yang lemah lembut. Tak ketinggalan, pementasan kali ini didukung oleh seniman kawakan Teater Koma seperti Budi Ros, Andhini Putri Lestari, Adri Prasetyo, Ade Firman Hakim, Dodi Gustaman, Daisy Lantang, Ratna Ully, Dorias Pribadi, Sir Ilham Jambak, Aris Abdullah, Dana Hassan, Julung Ramadan dan Rangga Riantiarno.

Meskipun karya ini merupakan hasil adaptasi dari cerita klasik Tiongkok, namun pementasannya dikemas dengan teknik modern dengan menghadirkan gelak tawa dan air mata, cinta dan rindu dengan diiringi lagu dan musik yang menyentuh. Permainan alat musik asal Tiongkok seperti guhzen dan ehru juga melengkapi lakon ini, yang menunjukkan indahnya perpaduan kedua kebudayaan Tiongkok dan Indonesia. Permainan musik yang menghiasi pagelaran ini dikomposisi oleh Idrus Madani dan diaransemen oleh Fero Aldiansya Stefanus.

Pemakaian kostum warna warni yang dirancang oleh Rima Ananda Oemar serta tata rias oleh Sena Sukarya sangat menggambarkan suasana asli Tiongkok. Para pemain juga menunjukkan keserasian gerak serta tari yang ditata oleh Elly Luthan, diperindah oleh tata artistik dan cahaya garapan Taufan S. Chn. Semua unsur ini memperlihatkan percampuran dua budaya yang sangat kuat, yang bisa dilihat dari balutan kostum serta pernak pernik khas Indonesia yang mewakili semangat akulturasi budaya. Produksi yang dipimpin oleh Ratna Riantiarno ini dibantu juga oleh pengarah teknik Tinton Prianggoro dan pimpinan panggung Sari Madjid Prianggoro.

Dengan semakin maraknya kegiatan budaya tentunya dapat semakin meningkatkan kecintaan masyarakat terhadap kekayaan dan keragaman budaya Indonesia. Mencintai budaya adalah wujud rasa bangga dan cinta kita terhadap Indonesia. Karena yang menyatukan bangsa adalah budaya. Cinta Budaya, Cinta Indonesia.

 


Share to Facebook Share to Twitter Share to Google

Artikel Lainnya

Video Lainnya