Museum OHD Mengadakan Pameran “The People in 70 Years”

Posted : 22 Feb 2016

Bekerja sama dengan Museum OHD, Magelang, Bakti Budaya Djarum Foundation ikut memperingati 70 tahun kemerdekaan Indonesia yang jatuh pada 2015 ini dengan menyajikan sebuah pameran seni rupa bertajuk “The People in 70 Years.”  Pameran diresmikan pada 4 November 2015 di Museum OHD, Magelang oleh Bapak K.H. A. Mustofa Bisri yang karyanya disertakan pada pameran ini. Pameran berlangsung sampai 22 Februari 2016, namun bila perlu akan diperpanjang.

Pameran yang disusun kurator Jim Supangkat ini menyajikan sekitar 150 karya koleksi Museum OHD dengan tarikh pembuatan dari awal Abad ke-20 sampai kini. Di antaranya untuk menyebutkan beberapa karya-karya S. Soedjojono, Hendra Gunawan, Affandi, Basuki Abdullah, Wakidi, Tarmizi, Dullah, Kartono Yudhokusumo, Trubus Soedarsono, Nashar, Widayat, Soedjana Kerton, Dede Eri Supria, Harris Purnama, Heri Dono, Nasirun, Ichwan Noor, Entang Wiharso, Pupuk Daru Purnomo, Dadang Christianto, Ivan Sagita, Yuswantoro Adhi, Abdi Setiawan, dan Yudi Sulistyo.  Semua karya yang terpilih untuk pameran ini mengangkat masyarakat atau persoalan masyarakat sebagai subject matter.  Penyajian karya-karya dengan tema sosial ini diharapkan bisa membangun gambaran pada publik tentang perkembangan masyarakat kebanyakan  di Indonesia selama 70 tahun Indonesia menjalani kemerdekaan. 

Pameran ini bertumpu pada keyakinan umum bahwa kecenderungan mengangkat persoalan masyarakat merupakan tanda penting pada perkembangan seni rupa Indonesia. Pameran ini menegaskan bahwa kecenderungan ini ternyata tidak pernah hilang karena selalu muncul kembali pada perkembangan seni rupa Indonesia. Melalui koleksi Museum OHD pameran ini menunjukkan bahwa karya-karya dengan tema sosial-politik masih hadir pada perkembangan seni rupa kontemporer, yang sekarang menjadi arus utama perkembangan seni rupa Indonesia. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kecenderungan mengangkat masalah masyarakat pada seni rupa Indonesia menerobos pembagian era  perkembangan yaitu seni rupa modern dan seni rupa kontemporer.  

Pada pameran yang menampilkan karya-karya dengan berbagai media ungkapan ini bisa ditemukan lima gejala mempersoalkan realitas sosial. Pertama, ungkapan yang memperlihatkan dorongan pada seniman membela masyarakat yang diabaikan kekuasaan karena tidak punya saluran untuk menyampaikan aspirasi. Kedua, karya-karya yang menunjukkan bagaimana para seniman mempersoalkan realitas sosial yang menampilkan kemuraman, ketidak-adilan, kekerasan dan menyajikannya sebagai ungkapan yang memancing renungan tentang kehidupan dan juga harapan. Ketiga, ekspresi yang menampilkan kehidupan sehari-hari pada kehidupan masyarakat yang tidak selalu muram karena ada keindahan di balik kehidupan masyarakat yang sederhana. Keempat, representasi realitas sosial yang cenderung mengamati ruang hidup khususnya di kota-kota besar di mana kelompok elite hidup bersama kaum terbuang di daerah-daerah kumuh.  Kelima, dorongan pada seniman mengenal masyarakat dari dekat dengan menampilkan potret mereka melalui lukisan wajah atau patung sosok.

 

Pameran seni rupa memperingati kemerdekaan Indonesia yang ke 70 ini tidak bisa dilepaskan dari persoalan sejarah Indonesia. Pameran yang diantar juga oleh tulisan sejarawan Iwan Sewandono, yang sampai sekarang tinggal di Belanda, membawa pesan bahwa sejarah bukan entitas tunggal melainkan entitas yang berlapis-lapis. Bahwa sejarah Indonesia tidak sesungguhnya bisa dipahami bila dimensi budayanya diabaikan. Pada sejarah seni rupa Indonesia terdapat tanda-tanda sejarah yang tidak bisa dikaji selain dengan mengkaji perkembangan seni rupa yang disertai pembacaan karya-karya seni rupa. 


Share to Facebook Share to Twitter Share to Google

Artikel Lainnya

Video Lainnya