“SRI ENG TAY” Pertarungan Perebutan Menjadi Pendekar Nomor Wahid

Posted : 30 Oct 2016

Hadir dalam balutan “Heritage of Indonesia: Dari Warisan Menjadi Wawasan”, Indonesia Kita mempersembahkan pementasan yang mengambil warisan cerita legendaris Tionghoa kepada publik, dengan judul lakon “Sri Eng Tay”. Pementasan yang didukung oleh Bakti Budaya Djarum Foundation ini merupakan pentas Indonesia Kita ke-21, diselenggarakan pada tanggal 28-29 Oktober 2016, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jl. Cikini Raya 73, Jakarta Pusat.

"Warisan Budaya Tionghoa di Indonesia merupakan salah satu bagian penting di dalam perkembangan budaya Indonesia. Banyak pedoman hidup tentang sikap manusia yang baik dan buruk, tentang tipu muslihat, ambisi dan keserakahan telah diangkat di dalam cerita Tionghoa baik melalui buku maupun film. Masyarakat Indonesia pada umumnya akrab dan menggandrungi cerita Tionghoa, terutama yang mengangkat kisah-kisah para pendekar silat. Hal ini menjadi inspirasi bagi program Indonesia Kita pada pentas ke- 21, untuk merefleksikan warisan budaya Tionghoa menjadi wawasan terhadap berbagai corak perilaku manusia di masa kini," ujar Butet Kertaredjasa

Lakon Sri Eng Tay dimulai dengan suasana duka dan gelisah sebuah perguruan silat bernama “Go Bi Pai”, sebuah perguruan silat yang seluruh anggotanya adalah perempuan. Suasana sedih dan gelisah terjadi karena mendengar kabar munculnya seorang pendekar yang akan membunuh suhu mereka. Dunia Kang-Ouw semakin gempar sebab pendekar itu bukan pendekar sembarangan, dia dikabarkan telah berhasil merenggut banyak nyawa para pendekar hebat.

Seluruh anggota perguruan bersiap menghadapi kemungkinan terburuk, termasuk apabila suhu atau guru besar mereka akhirnya tewas. Bahkan sebelum suhu mereka benar-benar tewas, para murid telah menyiapkan upacara kematiannya, tentu saja murid-murid juga membicarakan, apabila guru besar mereka tewas, siapa yang akan menjadi penggantinya. Ancang-ancang ini berkembang menjadi suatu perebutan, intrik dalam perguruan itu pun semakin menggelisahkan, karena sang suhu belum juga mewariskan jurus pamungkas.

Sang Suhu menegaskan: jurus pamungkas itu hanya akan diwariskan kepada Eng Tay. Jurus itu memang hanya bisa dimainkan oleh perempuan, bila dipelajari oleh lelaki, maka lelaki itu akan menjadi “keperempuan-perempuanan”. Namun, Eng Tay sudah lama pergi dari perguruan itu, tak jelas kemana. Ada yang berkata sedang berguru menuntut ilmu pada guru yang lain, ada juga kabar Eng Tay sudah mati terbunuh. Tak jelas kebenarannya. Rupanya semua itu adalah siasat para pendekar untuk menjadi Pendekar Nomor Wahid di dunia persilatan, yang membuat banyak perguruan silat berkumpul dan menghimpun kekuatan masing-masing. Ada perkumpulan bernama Perkumpulan Pendekar Pengemis Sakti, ada Perkumpulan Pendekar Rajawali Mabuk, dan perhimpunan perkumpulan pendekar lainnya. Pada saatnya pendekar yang misterius itu muncul dan pertarungan besar pun terjadi. Siapakah yang memenangkan pertarungan?

“Melalui cerita berlatar belakang dunia persilatan ini, sebenarnya kita ingin merefleksikan situasi saat ini, ketika banyak yang dipenuhi ambisi dan hasrat berebut kekuasaan. Melalui cerita silat inilah, sikap kependekaran dan kenegarawanan menjadi sangat relevan,” ujar Agus Noor, penulis cerita dan sutradara pertunjukan Sri Eng Tay ini.

“Sejak tahun 2011 dan berlanjut hingga tahun ini, program Indonesia Kita telah menjadi magnet bagi masyarakat, terbukti dari setiap pelaksanaannya selalu mendapat apresiasi yang sangat tinggi dengan penjualan tiket pertunjukan yang selalu habis, bahkan menggelar pertunjukan tambahan. Pementasan kali ini, adalah sebuah upaya memadukan beragam warisan budaya Tionghoa kedalam pertunjukan yang bisa merefleksikan persoalan kekinian dan diharapkan dapat memberikan inspirasi serta mendapatkan apresiasi dari masyarakat khususnya generasi muda," ujar Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.

Program Indonesia Kita 2016 dengan lakon Sri Engtay didukung oleh Tim Kreatif Butet Kartaredjasa, Agus Noor, Bre Redana, Djaduk Ferianto. Tim Artistik       oleh Ong Hari Wahyu. Pemusik  oleh Jakarta Street Music. Aktor dan Aktris pendukung Cak Lontong, Akbar, Marwoto, Yu Ningsih, Trio Gam (Gareng, Joned, Wisben), Henky Solaiman, Hans Huang, Alena Wu, Febrianti Nadira, Flora Simatupang, Fitri Wahab,  Vivi Yip, Mira Rompas, Bulgari (Kelompok Wushu Jakarta).

Semoga kegiatan ini mampu memberikan inspirasi kepada masyarakat terutama generasi muda untuk terus berkarya serta meningkatkan rasa cinta dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Mencintai budaya adalah wujud rasa bangga dan cinta kita terhadap Indonesia, karena yang menyatukan bangsa adalah budaya. Cinta Budaya, Cinta Indonesia.


Share to Facebook Share to Twitter Share to Google

Artikel Lainnya

Video Lainnya