"Tangis" Angkat Fenomena Aktual Tanah Air Dengan Khas Teater Gandrik

Posted : 25 Feb 2015

Teater Gandrik merupakan salah satu kelompok teater kontemporer ternama dan legendaris Indonesia yang mampu mengolah bentuk dan spirit teater tradisional dengan gaya pemanggungan modern. Kelompok yang beranggotakan seniman Indonesia seperti Butet Kartaredjasa, Djaduk Ferianto dan Susilo Nugroho ini semakin eksis di dunia seni pertunjukan nasional hingga kini. Didukung Djarum Apresiasi Budaya, Teater Gandrik kembali sukses menampilkan lakon terbarunya di atas panggung dengan judul Tangis. Pementasan ini berlangsung di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta pada tanggal 11 – 12 Februari 2015 dan di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Jakarta pada tanggal 20 – 21 Februari 2015 mendatang.

Teater Gandrik, dengan semangat guyon pari keno, mengkritik dengan guyonan yang mencerdaskan ditampilkan dalam pementasan Tangis kali ini. Di samping mendapat inspirasi dari peristiwa mutahir yang terjadi di republik ini, Tangis juga merupakan adonan baru dua naskah akhir tahun 1980an karya alm. Heru Kesawa Murti, yaitu Tangis dan Juragan Abiyoso.

Dari bentuk pemanggungan (artistik), pertunjukan kali ini menghadirkan pilihan baru. Tangis yang mulanya diinisiasi sebagai pertunjukan dramatic reading, seperti menemukan jalannya sendiri sebagai teater rakyat yang interaktif. Tidak sekedar menuntut tepuk tangan dan celetukan penonton yang tergerak karena disentil tema pertunjukan, namun penonton dipaksa terlibat di dalam masalahnya. Di belahan lain bumi, bentuk-bentuk macam ini disebut sebagai “Teater Penyadaran” yang dipopulerkan oleh Augusto Boal. Tentu saja Gandrik tidak bepretensi mengadopsi Boal, namun semata-mata menyusuri perilaku kreatif. Dan Teater Gandrik sungguh berbahagia jika para penonton dan penikmat seni, yang adalah bagian penting dari seni pertunjukan Indonesia, menjadi saksi pencarian organik ini.

Sudah sejak lama air mata menjadi senjata berbagai rupa, mulai dari trik mendapatkan iba, hingga pintu masuk mendapatkan jabatan. Di dunia ini, tangis tak jarang diumbar ke masyarakat melalui berbagai media, bahkan dihadapkan ke kamera infotainment. Moral seperti ini bagaikan virus yang mudah menular karena hasilnya sungguh ciamik. Lumayan, usahanya ringan, dan untungnya banyak.

Pementasan ini berkisah tentang Sumir, atau hantu Sumir, yang menghantui setiap denyut perusahaan Batik Abiyoso. Konon, ia awalnya karyawan biasa yang meroket kariernya, namun tiba-tiba lenyap dan tak ada yang tahu kemana perginya. Sementara itu, perusahan Batik Abiyoso yang dulu Berjaya, semakin hari semakin terpuruk karena praktek ngemplang  para pemesan. Batik-batik pesanan urung dibayar, padahal hutang di bank telah menumpuk untuk membiayai proses produksi.

Tragedi besarpun terjadi ketika Pak Muspro, sahabat Juragan Abiyoso, kepala pemasaran perusahaan Batik Abiyoso ditemukan gantung diri. Perusahaan batikpun goyah, cerita-cerita lalu dan rahasia perusahaan yang telah lama terpendam bermunculan. Kematian Pak Muspro menggelar dengan gamblang rapuhnya perusahaan batik dan kejelekan Juragan Abiyoso. Mental para buruh jatuh dan mengutil di setiap ada kesempatan, mandor Siwuh menjadi penjilat yang piawai, dan keuangan perusahaan amburadul tidak karuan.

Pangajap, anak Juragan Abiyoso, yang hobinya kelayaban dan bersenang-senang tidak peduli dengan apa yang terjadi. Dia hanya tahu bahwa dia berhak atas jabatan yang ditinggalkan Pak Muspro. Drama “Tangis” pun dimulai, demi mendapatkan jabatan, Pangajab membuat persekongkolan untuk memperburuk kinerja perusahaan yang sudah dipegang oleh Prasojo, anak almarhum Pak Muspro. Ia membuang harga dirinya dengan berlatih menangis, menjadikan tangis sebagai senjata ampuh menyentuh hati ayahnya. Dibantu Siwuh, Pangajab melaksanakan seluruh rencananya itu.

Namun sebelum semua hal terwujud, Juragan Abiyoso meninggal dalam kekecewaan dan ketakutan masa lalu. Sedangkan Ibu Abiyoso menjadi gila dan Pangajab masuk penjara karena membunuh teman persengkokolannya. Perusahaan batik ambruk, dan yang tersisa hanyalah tangis. Sumir, atau hantu Sumir, muncul kembali dalam tangis, dan ia menjadi saksi dari segala intrik kekuasaan yang menghancurkan kejayaan yang telah dibangun sekian lama.

Semoga kegiatan ini mampu memberikan inspirasi kepada masyarakat terutama generasi muda untuk terus berkarya. Dengan semakin maraknya kegiatan budaya tentunya dapat semakin meningkatkan kecintaan masyarakat terhadap kekayaan dan keragaman budaya Indonesia. Mencintai budaya adalah wujud rasa bangga dan cinta kita terhadap Indonesia, karena yang menyatukan bangsa adalah budaya. Cinta Budaya, Cinta Indonesia.



Share to Facebook Share to Twitter Share to Google

Artikel Lainnya

Video Lainnya